KAHARINGAN SUKU DAYAK
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan,
ketika agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah Kaharingan artinya tumbuh
atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air
kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla
Langit), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan. Pemerintah Indonesia mewajibkan
penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan
religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu
Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April
1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam
melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya.
Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya.
Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying
Hatalla Langit.
Sandung Dayak
Pesaguan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan
Barat. Perhatikan arca naga di bagian atas.
Sandung Dayak
Pebihingan, bersisian dengan dua makam. Kabupaten Ketapang
Kaharingan ini pertama kali
diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat
Residen Sampit yang
berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang
mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde
Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.
Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi
dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan
mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai
Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan
buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawur (petunjuk
tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan
sebagainya.
Hingga kini penganut Kaharingan
masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek
moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum
diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika
membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agama. Berdasarkan
catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai
60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang
berjumlah 3,6 juta jiwa.[5]
Di Malaysia
Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak
ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap
sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun justerunya juga
masyarakat Dayak di Malaysia tidak mengakui agama Hindu. Kebanyakan Dayak di
Malaysia beragama Kristen.
Pada tanggal 20 April 1980
Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan. Organisasi alim ulama
Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar
Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan
Tengah.
Komentar
Posting Komentar